Ia tersenyum melihatku.“Maaf Mas, sapu tangan saya ketinggalan,” katanya.Ia mencari-cari. Esoknya, dari rumah kuitung-itung waktu. Bokep Montok Bau tubuhnya tercium. Hitam. Ia sudah membereskan peralatan pijat. Semua orang bebas masuk asal punya uang. Lha wong Mbak Wien menutupi wajahnya begitu. Penumpang lima lalu supir, jadi enam kali tujuh, 42 hore aku turun. Aku tidak menjepit tubuhnya. Sambil menjawab telepon di kursi ia menunggingkan pantatnya.“Ya sekarang Sayang..!” katanya. Atau mau gunting? Ia hanya menampakkan diri separuh badan.“Mbak Wien.., aku mau makan dulu. Dia mau pulang dulu ngeliat orang tuanya sakit katanya sih begitu,” kata Wien.Setelah beberapa lama menyodoknya, “Terus dong Yang. Astaga. Ke bawah lagi: Tidak. Tetapi aku masih betah di atas mobil ini. Sudahlah. Masak tidak ada yang bisa dibicarakan. Lalu pijitan turun ke bawah. Eh bisa juga wanita setengah baya ini ramah kepadaku.Lalu ia membersihkan pahaku sebelah kiri, ke pangkal paha. Karena itulah, tidak akan hadir kesempatan ketiga. Aku menikmati kelincahan lidah wanita setengah baya yang tahu di mana titik-titik yang harus dituju.
